Mengisi Kosong Jam Mengajar

Mengisi Kosong Jam Mengajar

 Sebagai seorang guru di sekolah menengah kejuruan (SMK), sudah pasti banyak waktu kosongnya jika kita mengajarnya 12 - 24 Jam pelajaran saja. Karena biasanya dalam satu minggu, ada sekitar 46-51 Jam pelajaran. Sehingga masih banyak waktu luang yang bisa dilakukan oleh Guru. 

Saya pun hari ini mulai memutuskan untuk mengisinya dengan menulis di blog ini saja, karena memang blog ini awal saya buat adalah untuk menuangkan ide, gagasan, ran buah pikiran saya. Daripada saya terlalu banyak menggunakan waktu untuk melihat Youtube, scroll Medsos, atau melihat produk-produk di marketplace. Hehe.

Menulis secara konsisten memang berat, adakalanya banyak hal dan rintangan yang menghadang, apalagi ketika malas melanda dan sudah merasa berada di zona nyaman. Sehingga menulis bukan menjadi kebutuhan, atau pengisi waktu luang saya. Akan tetapi, saya mulai memahami bahwa saya harus meninggalkan jejak tulisan agar berbagai macam pikiran bisa saya tuangkan dalam bentuk tulisan. Entah itu mempunyai manfaat atau tidak, yang jelas kegiatan menulis ini dapat menimbulkan kebahagiaan di hati. 


Proses mendewasa

Proses mendewasa

Saat masih muda dulu pernah berpikir kurang bagus ketika nggrundel atau ngrasani teman kerja yang lebih tua. Misalnya, enak ya teman yang itu tiap hari izin pulang lalu tidak kembali ke sekolah. Enak ya teman itu hanya mengajar dan siang sudah pulang tidak sesuai jam nya. Apalagi zaman dahulu, sistem kerja tidak ada presensi yang dicek oleh atasan. Paling hanya presensi formalitas. Seiiring berjalannya waktu, presensi pun sudah mulai canggih dengan adanya finger print, lalu sekarang menjadi presensi melalui aplikasi dengan adanya titik koordinat melalui GPS. Saya pun semakin senang dengan hal itu, yang setidaknya mengubah budaya kedisiplinan dan ketertiban pegawai menjadi baik. Namun, tetap ada saja orang yang memanfaatkannya tidak dengan tujuan yang baik. 

Proses nggrundel saya di waktu muda pun mulai berangsur-angsur hilang. Karena sebagai guru biasa, saya tidak punya kehebatan ataupun wewenang untuk mengubah kedisiplinan seseorang. Alhasil, saya pun hanya fokus terhadap apa yang saya kerjakan dan lakukan di lingkungan kerja, tanpa harus berharap lebih kepada rekan kerja untuk sama dengan apa yang saya pikirkan. 

Saya pun mulai berpikir bahwa memang banyak orang yang tidak bisa menjadi disiplin karena berbagai macam keadaan yang dialami. Saya sendiri pun juga seperti itu. Banyak faktor yang mempengaruhi kedisiplinan seseorang dalam bekerja ataupun dalam melakukan sesuatu. 

Mulai sekarang pun, saya tidak ingin untuk menghakimi seseorang hanya karena melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan saya. Bisa jadi tindakan orang lain itu betul, atau biasa di mata orang-orang tersebut. Bisa jadi juga hal-hal yang dilakukan oleh orang lain karena memang hanya itu yang bisa dilakukan.