Membuat Perpustakaan Keluarga


Buku merupakan jendela dunia. Kalimat tersebut mungkin pernah kita dengar. Kita bisa mendapatkan ilmu, informasi, pengetahuan dan wawasan dari buku. Di tengah-tengah kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat, buku masih memegang peranan penting bagi sumber ilmu pengetahuan. Meskipun sekarang ini orang dengan mudah mendapatkan informasi dari internet, namun menurut saya, buku masih akan terus menjadi referensi bagi seseorang untuk mendapatkan pengetahuan. Saya sendiri selalu berusaha meluangkan waktu untuk membaca buku. Dulu, saat masih bujang, saya selalu memiliki target untuk menyelesaikan membaca 2 buku dalam 1 bulan. Akan tetapi, setelah berkeluarga dan memiliki anak, harus pandai-pandai dalam memanfaatkan waktu untuk membaca buku. Sekarang ini, minimal dalam satu minggu saya harus membaca buku, setidaknya dalam 1 bulan menyelesaikan 1 buku. Kalaupun meleset, 1 buku selesai dalam 2 bulan. Intinya tetap ada kegiatan membaca buku dalam 1 bulan. 

Membaca buku memiliki keasyikan tersendiri. Pikiran dan perasaan kita seperti berimajinasi dan berkreasi ketika membaca buku. Setiap orang pasti memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam membaca buku. Antara satu orang dengan yang lain terkadang memiliki persepsi yang berbeda dari 1 judul buku yang sama, dan ini sah sah saja menurut saya. Hal, yang terpenting justru konsistensi kita dalam membaca buku. Meskipun susah untuk mengajak semua orang gemar membaca, minimal kita memberikan contoh nyata dan pengalaman. Saya sendiri pun memiliki cita-cita dari dulu untuk membuat perpustakaan keluarga.

Perpustakaan bagi saya adalah tempat dimana saya bisa bebas membaca dan berimajinasi. Meskipun saya bukan pengunjung perpustakaan umum aktif, namun setidaknya dulu saya pernah mengunjungi. Saat masih menjadi mahasiswa saya terkadang berkunjung ke perpustakaan daerah Jawa Tengah di Semarang, di samping Gedung Wanita daerah Sriwijaya. Meskipun hanya baca-baca koran, dan cari referensi untuk skripsi, setidaknya perpustakaan tersebut sangat nyaman. Ketika di rumah, saya pun dulu sering mengunjungi perpustakaan umum Kabupaten Jepara, letaknya sebelah hotel Jepara Indah. Tetapi sekarang ini sudah tidak pernah, karena kesibukan bekerja. Terakhir kali meminjam buku di sana Tahun 2011. Sudah lama sekali ternyata, hehe.

Bisa dibilang saya bukanlah pengunjung aktif perpustakaan umum. Daftar buku yang saya pinjam dari perpustakaan umum pun sedikit. Hal yang mendasari saya kurang aktif berkunjung ke perpustakaan umum mungkin karena keinginan saya untuk membuat perpustakaan keluarga sendiri. Masih ingat, saat pertama kali membeli buku non pelajaran/kuliah di tahun 2006 dulu. Buku dengan judul Mengatasi Rasa Sepi, Frustasi, Rendah Diri karangan Dr. Frank S. Caprio. Buku terjemahan yang saya beli dari Toko Buku Gramedia saat masih kuliah dulu. Bukunya tipis dan harganya murah waktu itu, maklum kantong mahasiswa. Dari situlah, saya mulai membeli buku apa saja.
 
Setelah membeli buku pertama non pelajaran itu, saya pun mulai suka dan hobi untuk membeli buku. Saat masih kuliah, saya pun menyisihkan uang saku untuk membeli buku-buku pengetahuan, novel, atau buku apapun. Bahkan buku bajakan pun saya beli saat itu, karena harganya murah dan tidak tahu kalau itu buku bajakan. Akhirnya seiring pengalaman membeli buku, akhirnya tahu mana yang buku bajakan dan buku asli. Ternyata semakin tahu juga kalau membeli buku bajakan, royalti dari buku tidak diterima oleh penulis bukunya. Hal inilah yang membuat saya merasa bersalah. Setelah paham dan mengerti, saya pun memutuskan untuk selalu membeli buku-buku asli. 

Buku-buku yang saya beli pun semakin bertambah setelah bekerja menjadi guru di SMK Negeri 1 Jepara. Hampir setiap bulan saya selalu menyisihkan gaji untuk membeli buku. Kalaupun lupa membeli, maka bulan berikutnya saya akan membeli dua buku atau bahkan terkadang sampai membeli 3 buku jika sedang khilaf. Saya berpikir sederhana, apakah gaji hanya saya habiskan untuk kebutuhan pokok kita saja? Maka, setidaknya dengan membeli buku saya bisa memberikan bahan bacaan untuk anak-anak saya kelak. Buku-buku yang saya beli memang untuk saya koleksi dan sebagai pengisi perpustakaan keluarga. 

Karena bukan seorang pustakawan, atau pernah kuliah di jurusan perpustakaan, saya pun alakadarnya dalam membuat perpustakaan keluarga. Hanya menggunakan pengetahuan sederhana dan juga apa yang pernah saya lihat di perpustakaan umum. Berikut beberapa hal yang saya lakukan untuk membuat perpustakaan keluarga. 

1.    Memberikan Nama
Saat memikirkan nama untuk perpustakaan, sebenarnya saya bingung. Mencari dan mengotak-atik sebuah nama untuk perpustakaan ternyata tidak mudah. Saya pun kala itu mencari nama yang aneh dan kemungkinan tidak ada yang sama. Terciptalah nama perpustakaan keluarga DHOL PUSTAKA. Saya ambil dari penggalan nama saya sendiri. Mungkin terlihat janggal atau aneh bagi orang, tapi menurut saya orisinil. Hehe. Nama tersebut sudah saya ciptakan kira-kira tahun 2009 ketika saya mulai bekerja. 

2.    Membuat Stempel
Karena takut jika ada orang mempunyai buku yang sama, saya pun dulu selalu membubuhkan tanda tangan dan tanggal pembelian. Tetapi setelah bertahun-tahun, tampaknya harus ada hal yang berbeda. Setelah saya menciptakan nama untuk perpustakaan keluarga, saya pun kepikiran untuk membuat stempel. Desain sederhana dengan Ms. Word pun saya buat kala itu. Meskipun sederhana, tapi saya tidak mempunyai pikiran untuk merubahnya. Tampilan stempelnya pun seperti ini :



3.    Memberikan nomor
Saat mulai membeli buku dan mengkoleksinya, dulu asal-asalan saja menyimpannya. Urutan pembelian pun saya tidak ingat. Meletakkannya dulu pun sembarangan. Bahkan ada yang mau ikut terjual ketika ada pedagang barang bekas atau loak ke rumah. Saya pun mulai memberikan nomor untuk buku-buku yang saya beli dan koleksi. Karena bukan pustakawan yang tahu kode-kode atau ilmu penomoran buku, saya pun mengurutkan saja nomor dari angka 001 dan seterusnya.



4.    Mencatat di buku inventaris dan komputer
Ternyata mencatat buku koleksi kita sangat penting. Selain agar kita memiliki data buku kepemilikan pribadi, catatan buku juga dapat membuat semangat untuk terus menambah koleksi buku. Jika masih sedikit maka akan ada keinginan untuk menambahnya agar bertambah banyak. Jika melihat data ada buku bagus yang belum kita punya, maka kita akan berusaha untuk membelinya. Saya pun mencatat daftar buku saya di buku inventaris yang saya buat dari kertas-kertas bekas lalu saya tempatkan di snelhechter. Selain itu saya juga mencatatnya di komputer. Agar memiliki dua tempat penyimpanan data.



5.    Membuat rak buku
Karena jumlah buku yang tentunya ingin selalu bertambah, saya pun harus memikirkan untuk membuat tempatnya. Rak buku pun saya buat dengan sederhana. Karena saya tidak ahli dalam ilmu pertukangan, saya pun memasrahkan kepada orang lain untuk membuatnya. Hanya membuat sketsa sederhananya saja, saya lalu memberikan kepada orang lain untuk membuatnya. Awalnya dengan menggunakan kayu bekas. Setelah itu, rak buku yang kedua pun saya membeli kayu sendiri dan meminta teman untuk membuatnya. Desain rak nya pun sangat sederhana, simpel, dan mudah membuatnya. Nantinya saya masih punya rencana untuk membuat rak buku yang lebih bagus dan unik.


6.    Membeli buku baru
Memiliki hobi membaca buku dan mengkoleksinya pastilah harus selalu membeli buku baru. Kalau tidak pernah membeli buku, pasti perpustakaan keluarga tidak akan pernah terisi. Saya pun harus memiliki keinginan kuat untuk hal ini. Setiap bulan saya pun menyisihkan sedikit uang dari gaji saya untuk membeli buku baru. Alhamdulillah, istri pun sangat mendukung hobi saya yang satu ini. Saya pun menjadi semakin bersemangat, dan setiap bulan selalu berusaha untuk menyisihkan uang untuk membeli buku baru.

7.    Merawat
Hal yang sering dilupakan orang ketika memiliki perpustakaan keluarga adalah merawat buku-bukunya. Saya sendiri juga terkadang lupa dan membiarkan buku-buku koleksi saya begitu saja. Nampaknya membiarkan buku yang kita koleksi tidak boleh berlama-lama. Kita harus membersihkannya dari debu, dan menempatkannya di tempat yang tidak lembab. Karena kalau buku yang kita koleksi bersih, maka kita akan selalu bersemangat untuk membacanya.

Beberapa hal di atas saya lakukan untuk membuat perpustakaan keluarga. Meskipun sangat sederhana dan mudah dilakukan, namun jika kita tidak memiliki keinginan kuat untuk membuat perpustakaan sendiri, maka tidak akan pernah terwujud. Perpustakaan keluarga yang saya buat memiliki tujuan untuk menambah pengetahuan dan sebagai bentuk refleksi dari hobi membaca buku yang diwariskan oleh orang tua. Slogan dari perpustakaan keluarga saya DHOL PUSTAKA adalah “membaca membuat hidup lebih berarti”. Saya memang mendapatkan banyak manfaat dari membaca dan memang membuat hidup memiliki arti. Karena dengan membaca, pikiran dapat berimajinasi sehingga hidup lebih memiliki warna tersendiri.

Saya membuat perpustakaan keluarga juga agar dapat mewariskan kepada anak cucu kelak buku-buku yang dapat memberikan mereka ilmu, pengetahuan dan informasi. Semoga bermanfaat bagi anak cucu saya kelak agar memiliki budaya membaca. Budaya yang harus dilestarikan bagi seluruh anak-anak bangsa di negara Indonesia yang kita cintai ini. Membaca tidak hanya dilakukan di sekolah saja, namun saat selesai sekolah kita harus terus membaca. Buku tidak hanya kita beli saat sekolah saja, namun harus kita beli saat sudah bekerja dan memiliki gaji. Membaca buku adalah suatu kegiatan yang menyenangkan dan harus kita lestarikan.

Sekolah itu Surga


Judul : Sekolah itu Surga
Penulis : HJ. Sriyanto
Penerbit : Selingkar Rumah Idea Pustaka
Tahun : 2012
Jumlah Halaman : 162


Cerita tentang Buku :
Buku ini terdiri dari 4 Bagian yaitu :
Bag. 1 : Siapa bilang jadi guru itu Gampang?!
Bag. 2 : Pendidikan itu Menyalakan Api dan Mengobarkannya
Bag. 3 : Sekolah Itu Surga
Bag. 4 : Mengarungi Arus Globalisasi
Masing-masing bagian terdiri dari kumpulan tulisan  hasil dari buah pemikiran penulis. Buku yang merupakan kumpulan tulisan dari HJ. Sriyanto ini benar-benar berasal dari pengalaman dan kisah nyata beliau sebagai guru yang mengajar matematika. Disajikan dengan bahasa yang ringan namun sarat makna. Memaknai peran dan profesi seorang guru memang harus total. Diawal-awal bab, tepatnya di dalam tulisan Dongkrak Citra Profesi, penulis menunjukkan bahwa input yang dimiliki tenaga kependidikan relatif rendah tingkat intelektualnya dibandingkan input non kependidikan. Anak yang prestasi akademiknya baik, hampir tidak ada yang mau menjadi guru. Akibatnya output yang dihasilkan juga rendah kualitasnya. 
Selain itu, penulis juga menyatakan bahwa bagaimanapun persoalan ekonomi yang dihadapi guru amat mempengaruhi kinerja dan profesionalitas guru. Saya pun sependapat dengan hal ini, karena biar bagaimanapun, seseorang bekerja pastilah ingin mendapatkan gaji yang dapat mencukupi kebutuhan. Menurut penulis, setiap profesi menuntut adanya suatu standar kompetensi, standar moral, dan tanggung jawab tertentu yang harus dijaga demi citra dan kredibilitas profesi itu. Oleh karena itu, para guru dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas dan kompetensinya dan terus menerus memperbarui diri, meng-upgrade dirinya sesuai dengan tuntutan zaman sebagai bentuk pertanggungjawaban profesi. 
Orang sering kali lupa bahwa guru memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Walaupun bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, guru tetaplah merupakan titik sentral proses pendidikan. Guru selalu berdiri di garda terdepan dalam proses pendidikan. Guru jugalah yang akan selalu membangkitkan siswa dikala kurang semangat belajarnya. Penulis juga menyatakan bahwa ketika api semangat itu sudah menyala, percayalah yang lain hanyalah konsekuensi logis yang hanya soal menunggu waktu saja untuk segera mewujud. Dan tugas pendidik adalah menjaga api itu tetap menyala dan terus mengobarkannya. 
Tulisan dengan judul Monolog Seorang Guru di dalam buku ini pun terasa seperti yang saya alami. Ketika masih muda dan bujang menjadi guru, sangat bersemangat sekali dalam bekerja. Seperti tidak kenal lelah. Pulang sore bahkan larut pun dijalani. Kerja ekstra diluar jam kerja pun dijalani tanpa mengeluh. Akan tetapi setelah memiliki keluarga, semangat itu kian mengendur dan berkurang. Persis seperti yang saya rasakan. Hehehe. Mungkin saya saja yang merasakan atau banyak guru, saya pun tidak tahu. Namun yang jelas, di akhir tulisan, penulis memberikan suatu pesan positif bahwa dengan spirit yang menyala-nyala di dadanya, guru itu akan selalu menjadi manusia pembelajar yang selalu meng-upgrade diri untuk kemudian dibagi-bagi lagi dengan manusia-manusia muda yang akan selalu ada bersamanya. Hal inilah, yang membuat saya memang harus selalu bersemangat menjadi guru, karena ada siswa yang harus aku berikan pengajaran dan pendidikan sebagai bekal dikemudian hari. 
Hal yang membuat saya terkesan dengan buku ini adalah penulis mengajak siswanya untuk membuat puisi matematika di kelas. Seperti apa yang pernah saya bayangkan namun belum pernah saya lakukan. Penulis memberikan tugas untuk membuat puisi matematika setelah akhir semester dengan maksud agar perbendaharaan istilah matematika siswa sudah banyak. Sesuatu yang menurut saya sangat keren. Berikut contoh puisi matematika karya dari muridnya yang ada di buku ini :

Penulis juga membagikan pengalaman-pengalaman mengajar dan mendidik dengan sangat baik di buku ini. Seperti halnya murid yang tidak mau bertanya karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan, murid tidak tahu apa yang dia tidak tahu. Penulis mengajak agar para guru harus mulai mendorong murid untuk bertanya dan mempertanyakan, tidak soal apakah nanti guru bisa menjawab atau tidak. Yang terpenting adalah bagaimana murid memiliki keberanian untuk bertanya dan bisa merumuskan pertanyaannya dengan benar. Sebab inilah pintu pertama yang harus dibuka untuk menumbuhkan sikap kritis pada siswa. Guru tidak perlu malu untuk mengatakan tidak tahu, kalau memang benar-benar tidak tahu. 
Berdasarkan pengalaman penulis buku ini, seringkali siswa lebih memilih diterangkan saja daripada mereka harus membaca sendiri, menemukan sendiri untuk kemudian mendiskusikannya. Hal demikian tidak terlepas dari kebiasaan proses pembelajaran selama bertahun-tahun, dimana siswa dicekoki. Kebiasaan ini telah mengkondisikan siswa untuk bersikap pasif dan cenderung menunggu saja. Mereka terbiasa melakukan sesuatu bukan atas dasar inisiatif sendiri. Setelah saya pahami, pengalaman penulis benar adanya, dan harus menjadikan tugas bagi guru, termasuk saya agar lebih kreatif lagi dalam mengajar dan mendidik siswa.
Menurut saya, buku ini layak dibaca oleh para guru. Agar menambah wawasan dan pengetahuan dalam dunia pendidikan. Selain itu, buku ini juga akan menyadarkan kita sebagai guru bahwa profesi yang sudah dijalani ini memiliki objek anak manusia yang masih akan terus tumbuh dan berkembang. Tugas gurulah yang harus memberikan semangat kepada para siswa agar selalu belajar sepanjang masa. Selalu mengajarkan siswa agar menjadi pribadi yang baik dan berkarakter. Di dalam buku ini pun ada tulisan, persis seperti yang pernah disampaikan oleh dosen saya, Prof. Dr. Hardi Suyitno, M.Pd. seorang guru Besar Universitas Negeri Semarang (UNNES), yaitu knowledge is power, but character is more.