Sekolah itu Surga


Judul : Sekolah itu Surga
Penulis : HJ. Sriyanto
Penerbit : Selingkar Rumah Idea Pustaka
Tahun : 2012
Jumlah Halaman : 162


Cerita tentang Buku :
Buku ini terdiri dari 4 Bagian yaitu :
Bag. 1 : Siapa bilang jadi guru itu Gampang?!
Bag. 2 : Pendidikan itu Menyalakan Api dan Mengobarkannya
Bag. 3 : Sekolah Itu Surga
Bag. 4 : Mengarungi Arus Globalisasi
Masing-masing bagian terdiri dari kumpulan tulisan  hasil dari buah pemikiran penulis. Buku yang merupakan kumpulan tulisan dari HJ. Sriyanto ini benar-benar berasal dari pengalaman dan kisah nyata beliau sebagai guru yang mengajar matematika. Disajikan dengan bahasa yang ringan namun sarat makna. Memaknai peran dan profesi seorang guru memang harus total. Diawal-awal bab, tepatnya di dalam tulisan Dongkrak Citra Profesi, penulis menunjukkan bahwa input yang dimiliki tenaga kependidikan relatif rendah tingkat intelektualnya dibandingkan input non kependidikan. Anak yang prestasi akademiknya baik, hampir tidak ada yang mau menjadi guru. Akibatnya output yang dihasilkan juga rendah kualitasnya. 
Selain itu, penulis juga menyatakan bahwa bagaimanapun persoalan ekonomi yang dihadapi guru amat mempengaruhi kinerja dan profesionalitas guru. Saya pun sependapat dengan hal ini, karena biar bagaimanapun, seseorang bekerja pastilah ingin mendapatkan gaji yang dapat mencukupi kebutuhan. Menurut penulis, setiap profesi menuntut adanya suatu standar kompetensi, standar moral, dan tanggung jawab tertentu yang harus dijaga demi citra dan kredibilitas profesi itu. Oleh karena itu, para guru dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas dan kompetensinya dan terus menerus memperbarui diri, meng-upgrade dirinya sesuai dengan tuntutan zaman sebagai bentuk pertanggungjawaban profesi. 
Orang sering kali lupa bahwa guru memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Walaupun bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, guru tetaplah merupakan titik sentral proses pendidikan. Guru selalu berdiri di garda terdepan dalam proses pendidikan. Guru jugalah yang akan selalu membangkitkan siswa dikala kurang semangat belajarnya. Penulis juga menyatakan bahwa ketika api semangat itu sudah menyala, percayalah yang lain hanyalah konsekuensi logis yang hanya soal menunggu waktu saja untuk segera mewujud. Dan tugas pendidik adalah menjaga api itu tetap menyala dan terus mengobarkannya. 
Tulisan dengan judul Monolog Seorang Guru di dalam buku ini pun terasa seperti yang saya alami. Ketika masih muda dan bujang menjadi guru, sangat bersemangat sekali dalam bekerja. Seperti tidak kenal lelah. Pulang sore bahkan larut pun dijalani. Kerja ekstra diluar jam kerja pun dijalani tanpa mengeluh. Akan tetapi setelah memiliki keluarga, semangat itu kian mengendur dan berkurang. Persis seperti yang saya rasakan. Hehehe. Mungkin saya saja yang merasakan atau banyak guru, saya pun tidak tahu. Namun yang jelas, di akhir tulisan, penulis memberikan suatu pesan positif bahwa dengan spirit yang menyala-nyala di dadanya, guru itu akan selalu menjadi manusia pembelajar yang selalu meng-upgrade diri untuk kemudian dibagi-bagi lagi dengan manusia-manusia muda yang akan selalu ada bersamanya. Hal inilah, yang membuat saya memang harus selalu bersemangat menjadi guru, karena ada siswa yang harus aku berikan pengajaran dan pendidikan sebagai bekal dikemudian hari. 
Hal yang membuat saya terkesan dengan buku ini adalah penulis mengajak siswanya untuk membuat puisi matematika di kelas. Seperti apa yang pernah saya bayangkan namun belum pernah saya lakukan. Penulis memberikan tugas untuk membuat puisi matematika setelah akhir semester dengan maksud agar perbendaharaan istilah matematika siswa sudah banyak. Sesuatu yang menurut saya sangat keren. Berikut contoh puisi matematika karya dari muridnya yang ada di buku ini :

Penulis juga membagikan pengalaman-pengalaman mengajar dan mendidik dengan sangat baik di buku ini. Seperti halnya murid yang tidak mau bertanya karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan, murid tidak tahu apa yang dia tidak tahu. Penulis mengajak agar para guru harus mulai mendorong murid untuk bertanya dan mempertanyakan, tidak soal apakah nanti guru bisa menjawab atau tidak. Yang terpenting adalah bagaimana murid memiliki keberanian untuk bertanya dan bisa merumuskan pertanyaannya dengan benar. Sebab inilah pintu pertama yang harus dibuka untuk menumbuhkan sikap kritis pada siswa. Guru tidak perlu malu untuk mengatakan tidak tahu, kalau memang benar-benar tidak tahu. 
Berdasarkan pengalaman penulis buku ini, seringkali siswa lebih memilih diterangkan saja daripada mereka harus membaca sendiri, menemukan sendiri untuk kemudian mendiskusikannya. Hal demikian tidak terlepas dari kebiasaan proses pembelajaran selama bertahun-tahun, dimana siswa dicekoki. Kebiasaan ini telah mengkondisikan siswa untuk bersikap pasif dan cenderung menunggu saja. Mereka terbiasa melakukan sesuatu bukan atas dasar inisiatif sendiri. Setelah saya pahami, pengalaman penulis benar adanya, dan harus menjadikan tugas bagi guru, termasuk saya agar lebih kreatif lagi dalam mengajar dan mendidik siswa.
Menurut saya, buku ini layak dibaca oleh para guru. Agar menambah wawasan dan pengetahuan dalam dunia pendidikan. Selain itu, buku ini juga akan menyadarkan kita sebagai guru bahwa profesi yang sudah dijalani ini memiliki objek anak manusia yang masih akan terus tumbuh dan berkembang. Tugas gurulah yang harus memberikan semangat kepada para siswa agar selalu belajar sepanjang masa. Selalu mengajarkan siswa agar menjadi pribadi yang baik dan berkarakter. Di dalam buku ini pun ada tulisan, persis seperti yang pernah disampaikan oleh dosen saya, Prof. Dr. Hardi Suyitno, M.Pd. seorang guru Besar Universitas Negeri Semarang (UNNES), yaitu knowledge is power, but character is more.