Sebagai pendaki amatir, saya selalu merasa puas dan bahagia ketika sudah naik dan turun gunung. Ada semacam rasa nyaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Semacam rasa yang memang harus mengalaminya sendiri. Saya bukanlah pendaki gunung profesional yang memiliki peralatan lengkap dan sudah mendaki puluhan atau bahkan ratusan gunung. Saya hanyalah penikmat puncak gunung, dimana saya bisa mengambil berbagai pelajaran saat akan naik, saat naik, setelah di puncak, dan setelah turun.
Pengalaman saya tentang naik gunung sebenarnya sudah lama ingin saya tuliskan di blog, tetapi baru kali ini ada kesempatan untuk menulis filosofi naik gunung. Dulu kegiatan ini tidak terlalu banyak orang yang suka atau mencoba suka. Tetapi seiring waktu berjalan, kegiatan muncak gunung banyak digandrungi oleh anak muda. Tak terkecuali saya yang masih muda juga. Hehe. Sebelum menjalaninya, pasti orang akan terbayang susahnya dan beratnya. Apalagi jika membayangkan medan terjal dan berjalan menanjak. Sebagian orang pasti berpikir, ah itu hanya kurang kerjaan dan tidak ada manfaatnya. Tapi bagi saya, naik gunung memiliki manfaat untuk jiwa dan juga bagi tubuh.
Manfaat naik gunung bagi sebagian orang mungkin akan berbeda-beda. Orang naik gunung pasti mempunyai motivasi yang berbeda pula, sehingga manfaat atau nilai-nilai yang terkandung berbeda pula. Bagi saya, naik gunung selalu memiliki keasyikan jasmani dan rohani tersendiri. Saya yang sedikit suka tentang filosofi akan sesuatu hal, membuat beberapa daftar nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan muncak gunung. Berikut beberapa hal yang saya dapatkan dari kegiatan naik gunung.
Berjuang
Hidup ternyata memang harus berjuang. Saat kita masih berada di bawah, semangat akan tinggi untuk naik gunung dan menaklukkannya. Tapi apa daya, setelah sampai di tengah-tengah yang sering saya rasakan adalah mulailah timbul rasa akan putus asa. Rasa ketika tidak sampai-sampai puncak tapi tubuh sudah lelah. Ingin kembali turun karena kaki sudah tidak mampu untuk melangkah karena terasa capeknya. Akan tetapi, rasa lelah itu akan sirna jika kita mengingat kembali bahwa hidup yang penting berjuang. Semangat berjuang itulah yang membuat saya akhirnya bisa sampai ke puncak gunung yang dituju.
Saat Melangkah Selalu Lihat ke Bawah
Hal yang sepele bagi sebagian orang, tapi bagi saya tidak. Saat saya berjalan untuk naik ataupun turun gunung pasti saya melihat ke bawah. Saya pun saat berjalan tidak pernah melihat ke atas. Resiko yang ditimbulkan bisa fatal. Terpeleset, terjatuh, terperosok ke lubang jika melihat ke atas. Bahkan, sudah melihat ke bawah pun saya masih terpeleset. Hal ini saya jadikan pengingat bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh merasa sombong dengan selalu melihat ke atas. Orang harus selalu ingat untuk melihat ke bawah juga, agar rasa sombong tidak menghinggapi diri dan tidak sering terjatuh.
Istirahat itu Perlu
Apakah kita dapat melakukan suatu pekerjaan selama 24 jam nonstop? Saya yakin jawabannya tidak. Manusia tidak mungkin dapat melakukan pekerjaan tanpa berhenti selama 24 jam. Manusia pasti butuh istirahat. Saat naik gunung pun saya tidak pernah tidak berhenti untuk istirahat. Pasti istirahat akan saya lakukan, apalagi sekarang. Saya mungkin pendaki yang paling sering istirahat. Seperti saat mendaki Gunung Sindoro pada tanggal 10-11 Juli 2017 kemarin saya paling sering meminta break untuk istirahat. Fisik manusia ternyata berbeda-beda. Hidup pun demikian adanya, bekerja, belajar, dan bermain harus tetap ingat untuk istirahat.
Menjaga Kebersihan
Saat naik gunung pasti kita akan membawa makanan dan minuman. Bungkus mie instans, snack, botol minuman, atau plastik-plastik pasti akan kita bawa saat muncak gunung. Kepedulian kita terhadap sampah akan teruji di sini. Kalau kita mendaki gunung hanya bertujuan untuk pamer foto, selfie, wefie maka kita pasti akan melupakan sampah yang kita bawa. Karena banyak pendaki yang tidak mau membawa sampahnya untuk turun. Apalagi sampah plastik yang tidak bisa terurai. Sampah yang kita bawa naik harusnya kita bawa turun juga. Maka membawa turun sampah sendiri saat di gunung akan menjadikan kita untuk senantiasa menjaga kebersihan. Kalau bukan diri sendiri yang memulai untuk menjaga kebersihan lalu siapa lagi.
Hidup tidak Selamanya Berada di Atas
Hal yang selalu saya ceritakan kepada orang jika membicarakan tentang naik gunung. Filosofi ini yang selalu saya ingat-ingat. Bahwa ketika kita sudah berjuang untuk mendaki gunung dengan keringat yang bercucuran, capek yang tak tertahankan, kantuk yang melanda, lalu kita mencapai puncak dan menikmati keindahan yang diberikan Allah kepada kita, ternyata kita masih punya PR untuk turun. Tidak mungkin kita akan menghabiskan hidup di puncak gunung. Karena kita punya kehidupan. Inilah yang selalu saya ingat bahwa dalam hidup di dunia ini, kehidupan, karier, penghasilan, prestasi, akan berada dipuncak. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan selamanya, karena apa yang kita punyai akan turun juga atau hilang. Usia pun seperti itu, kita akan mencapai usia emas dan produktif, tetapi lambat laun usia kita pun akan menua dan semakin ingat bahwa hidup di dunia tidak selamanya.
Toleransi
Pada dasarnya manusia memiliki sifat egois. Saya pun memilikinya. Tapi tergantung dari kita mengatur kadarnya, apakah keegoisan kita besarkan atau kecilkan. Naik gunung pun harus memiliki rasa toleransi yang tinggi. Suatu sikap yang saya mulai tahu saat sekolah. Guru PPKn selalu mengajarkan untuk toleransi, tetapi saya dulu tidak tahu dan tidak peduli apa itu toleransi. Namun, saat naik gunung saya jadi tahu apa itu toleransi. Saat kita memiliki semangat dan fisik yang bagus untuk sampai ke puncak, kita harus ingat bahwa saat naik bersama tim berarti tidak sendirian dan harus menyatu. Saat ada teman yang terluka karena kram atau keseleo, dan butuh istirahat, sebagai tim kita pasti harus ikut istirahat pula. Saat teman kita capek dan ingin istirahat, kita pun harus istirahat juga. Tidak mungkin kita meninggalkan teman kita sendirian, lalu kita melanjutkan perjalanan untuk mencapai puncak. Sikap toleransi inilah yang tanpa disadari muncul di saat kita bersama-sama naik gunung. Saya pun jadi ingat bahwa hidup memang bukan tentang diri sendiri.
Rasa Syukur yang Semakin Tinggi
Bersyukur itu memang perlu dan mutlak bagi umat manusia. Karena kita diciptakan oleh Allah, pastilah kita harus mensyukurinya. Tak terkecuali saat naik gunung. Hal yang mungkin akan selalu dirasakan oleh para pendaki ketika berada di puncak. Rasa lelah yang terasa saat perjalanan naik, terbayar lunas dengan keindahan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Keindahan alam yang begitu bagusnya. Samudera awan yang membuat mata tak jemu untuk memandangnya. Sunrise yang begitu indah. Semilir angin dan hawa dingin yang menemani saat menikmati ciptaanNya. Ah, rasa syukur ini memang harus selalu ada setiap saat.
Ternyata Manusia Itu Kecil Sekali
Saat berada di puncak ketika menikmati gugusan awan yang bederet-deret, ada pula yang berkumpul menjadi satu. Lalu menikmati pemandangan gunung yang lain. Menikmatinya, memandangnya, saya mulai berpikir bahwa manusia itu kecil sekali dan tidak ada apa-apanya. Itu pun saat berada di puncak gunung. Ketika membayangkan bumi dan seisinya, lalu membayangkan bulan, matahari, dan alam semesta, manusia memang benar-benar kecil, dan kecil sekali.
Jangan Mudah Menyerah
Kemarin, saat naik ke Gunung Sindoro ketika mencapai pos II badan saya terasa tidak sanggup dan terasa berat. Apalagi dengan membawa tas yang berisi banyak sekali barang dan minuman yang masih utuh. Saat berjalan rasanya sudah mau menyerah saja. Padahal itu belum ada setengah perjalanan. Rasanya ingin mendirikan tenda saja dan tidur. Tapi salah satu teman menyarankan agar bergantian tas dengan siswa saya. Alhasil dengan beban yang tidak terlalu berat akhirnya saya semangat kembali dan melanjutkan perjalanan sampai ke puncak. Jangan mudah menyerah untuk naik gunung, demikian halnya dengan kehidupan di dunia ini. Ketika kita menyerah, berarti kita kalah. Tidak tahu nanti kita jadi apa, memiliki apa, yang terpenting jangan mudah menyerah jika menerima masalah atau beban hidup. Hadapi saja.
Saat Jatuh, Bangunlah Lagi dan Lanjutkan Perjalanan
Jatuh, dan terpeleset saat naik gunung mungkin puluhan kali terjadi. Seperti yang saya sampaikan di awal, bahwa saya bukanlah pendaki profesional. Kadang kaki rasanya berat untuk melangkah ketika terjatuh. Berkali-kali pasti saya terjatuh, terpeleset, dan lain sebaginya. Apalagi jika sudah kehilangan konsentrasi dan lelah. Jika saat terjatuh saya berhenti dan tidak melanjutkan perjalanan maka tujuan yang saya inginkan tidak akan tercapai untuk sampai atas ataupun turun. Saya sering jatuh dan terpeleset saat turun, mungkin yang paling sering. Hehe. Tapi jika saya tidak melanjutkan perjalanan maka saya tidak akan bisa menuliskan tentang filososi naik gunung ini. Ternyata hidup pun seperti itu. Adakalanya kita jatuh, bahkan terpental, berguling-guling tak karuan kadang babak belur juga. Pasti kita akan berpikir untuk melanjutkan atau berhenti saja. Suatu hal yang pasti, bahwa hidup ini terus berjalan, jika kita pernah terjatuh itu hal yang wajar. Yang terpenting bangun lagi dan melanjutkan perjalanan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Hidup Harus Punya Tujuan
Saat berangkat untuk naik ke gunung, saya selalu ingat 2 hal. Yang pertama, saat akan naik tujuannya adalah puncak. Yang kedua, saat akan turun tujuannya adalah pulang ke rumah. Meskipun perjalanan naik gunung tidak semudah yang dibayangkan. Saya mengaitkannya dengan kehidupan. Saat sekolah, atau kuliah dulu mungkin saya termasuk tipe orang yang hanya mengikuti alur saja. Hidup ya yang penting jalani saja apa adanya, bahkan tanpa cita-cita. Tetapi ternyata setelah memiliki keluarga, istri dan anak mulai sadar dan berpikir bahwa hidup harus punya tujuan. Hidup tidak sekedar hanya makan, bekerja, dan tidur. Banyak hal yang harus kita lakukan untuk mencapai tujuan. Kadang mudah dan kadang susah. Tujuan manusia pastilah berbeda-beda, yang selalu saya ingat, hidup memang harus punya tujuan.
Beberapa hal di atas merupakan nilai-nilai yang terkandung saat naik gunung yang saya kaitkan dengan kehidupan. Akan berbeda antara saya dengan orang lain. Bahwa nilai-nilai hidup bisa kita dapatkan dari hobi yang kita lakukan. Tidak harus naik gunung untuk mendapatkan nilai-nilai filosofis tentang hidup. Semua orang pasti memiliki nilai-nilai kehidupan yang ditemuinya dari manapun dan dari apapun. Tergantung dari kita mau atau tidak untuk sekedar merenung sejenak, memikirkan nilai-nilai kehidupan.